Pendahuluan Madilog: Meninjau ke Muka

Baru saya sampai di Jakarta, masuki sebuah toko buku Belanda salah satu toko buku yang terbesar di Asia Timur ini. Saya mau beli sebuah buku tentang logika. Di kota besar mana saja di Asia Timur ini. Di Shanghai atau Manila, Hongkong atau Singapura, gampang sekali kita dapatkan buku semacam itu. Di toko buku tuapun tak perlu lama kita mencari buku logika karangan Jevons atau Mill (Inggris) atau pun Jones (Amerika) dsb-nya. Di Jerman, lebih-lebih rusia, mudah sekali mendapatkan buku perkara dialektika.

Tetapi dalam toko buku Belanda di ibu kota “Hindia Belanda’’ yang berpenduduk 70.000.000 jiwa itu, tak ada satupun buku (popular atau tidak) perkara undang berpikir, logika. Apalagi dalam toko-toko yang lebih kecil! Satu gambar dari semangatnya suatu negara yang hanya menghasilkan keju dan bloembollen itu, tetapi terkaya di dunia. Saya percaya bahwa dalam sekolah tinggi di Belanda dan di Indonesia ada terkhusus atau tersambil diajarkan logika. Tetapi saya pikir saya tak jauh dari kebenaran kalau berkata bahwa English speaking nations (bangsa-bangsa yang berbicara bahasa Inggris terutama Amerika) lebih mementingkan didikan buat rakyat murba, buat pemuda yang berotak, tetapi tak mampu, baik dengan jalan Sekolah Tinggi Rakyat ataupun kursus dan buku popular. Salah satu sifat rakyat Belanda yang terlihat pada saya adalah sifat demogogisch, ialah sifat berkilah, sifat suka mempertentangkan perkara kecil-kecil dengan melupakan pokok yang besar. Tiada heran kalau negara kecil berpenduduk kira-kira seperdua puluh dari Amerika dan berkeluasan sepertiga ratus tujuh puluh lima (1/375) dari Amerika mempunyai partai politik lima puluh dua buah (menurut berita seorang jurnalis Inggeris yang berada di Holland ketika diserang oleh Jerman (10-5-1940), jadi kira-kira 17 kali sebanyak partai yang ikut dalam pemilihan di Amerika. Menurut ukuran Belanda, Amerika itu mestinya mempunyai lebih kurang 1040 partai, baru ia bsia menyamai Belanda dalam hal percekcokan perkara tetek benger. Logika, apalagi dialektika, bukanlah ilmu yang dipopulerkan, dijadikan ilmu umum, dimana raja minyak (Colyn) dan raja tembakau (Cremer) bersimaharajarela.

Sudah bertahun-tahun saya tak punya buku, tak ada salahnya buat saya sekarang, sebelum menulis buku “Madilog’’ ini, sebentar mengincarkan mata pada daftar, isi dan halaman buku-buku yang mengandung dialektika dan logika. Tetapi sebab toko buku yang terbesar di Asia Timur dan toko-toko buku nyamuk di Jakarta tak punya satupun buku perkara itu saya sama sekali disesakkan kepada “Jembatan keledai’’ yang tersimpan dalam otak saya. Sekali lagi maaf ! Tetapi perlu pula dicatat disini dalam bibliotheek Bataviase Genootshap, sesudah hampir habis “Madilog’’ ditulis berjumpa juga dengan beberapa buku tentang logika dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Perancis.

MADILOG, ialah paduan dari permulaan suku kata : (MA)-TTER, (DI)-ALECTICA dan (LOG)-ICA “Mater’’ saya terjemahkan dengan “benda’’,dialektika dengan pertentangan atau pergerakan dan logika dengan undang berpikir. Paduan dalam bahasa Indonesia tiadalah begitu enak didengar dan tiada pula membuka pikiran baru seperti “jembatan keledai’’ saya. Sebab  segala kata di atas sudah begitu umum dalam bahasa negara besar-besar di Eropa, walaupun bahasa cangkokan dari bahasa Latin dan Yunani, maka tiadalah perlu kita segan mencangkok kata itu ke dalam bahasa kita.

“Madilog’’ saya maksudkan terutama ialah cara berpikir. Bukanlah suatu Waltanschauung, pemandangan dunia walaupun cara berpikir dan pemandangan dunia atau filsafat adalah seperti tangga dengan rumah, yakni rapat sekali. Dari cara orang berpikir itu kita dapat duga filsafatnya dan dari filsafatnya kita dapat tahu dengan cara dengan methode apa dia sampai ke filsafat itu.

Murid yang cerdik juga insyaf, bahwa kalau dia sudah tahu satu cara, satu undang, satu kunci buat menyelesaikan satu golongan persoalan, maka tiadalah ia mengapal berpuluh-puluh persoalan atau jawabannya puluhan atau ratusan persoalan itu, tetapi dia pegang cara atau kuncinya persoalan tadi saja.

Kebanyakan persoalan bisa diselesaikan dengan logika, undang berpikir saja. Dalam kehidupan kita sehari-hari yang berhubungan dengan makan minum, pulang pergi, jual beli dan 1001 perkara berhubung dengan pergaulan kita dengan sahabat, anak dan istri, tiadalah kita dipusingkan oleh dialektika.

Kenyang tiadalah mengandung arti lapar, seperti menurut dialektika. Kalau si anak menangis, si ibu memberikan air teteknya dengan segera. Dia tiadalah pikirkan lebih dahulu bahwa pengertian menangis itu mengandung pengertian tertawa, dan lapar itu ada terkandung pengertian kenyang. Yang satu sama lainnya tiada boleh dipisahkan, seperti dalam cara berpikir yang berdasarkan dialektika.

Dalam sekolah rendah atau menengahpun kita berkali-kali bertarung pada cara berpikir yang berdasarkan logika. Hitungan yang kita mesti jalankan, pengalaman, experimenten, dalam ilmu alam dan ilmu pisah yang sang guru lakukan di depan kita, semuanya mengandung logika. Walaupun dalam dialektika pada satu saat uap itu sama dengan air jadi tiada berpisah melainkan berpadi, jadi air sama dengan uap tiadalah kita mengadakan perhitungan atas dasar dialektika ini. Air tetap air buat kita dan mempunyai sifat air, bukan uap yang mempunyai sifat uap pula.

Tetapi kalau kita mengaji lebih dalam, kalau kita mengaji ada atau tak-adanya barang, mengaji seluk-beluk, asal dan akibatnya sesuatu barang, tegasnya kalau kita tenggelam dalam ombak gelora filsafat, ke dalam persoalan yang berhubungan dengan alam, masyarakat politik, yang hilang atau timbul, bergerak dan berhenti, pada waktu yang singkat atau lama, pada perkara yang berseluk-beluk, maka kita tiada bisa sampai ke ujung dengan perkakas logika semata-mata. Kita mesti memakai dialektika. Malah dialektikalah yang terutama.

Ahli filsafat yang jawa, ahli politik atau ahli siasat yang cerdas ahli ekonomi yang sempurna, mesti memakai senjata-pertentangan, seperti senjata dalam pepatah Indonesia: yang tajam balik bertimbal, kalau tak ujung pangkal mengena. Ahli filsafat mesti selalu berjalan di antara kedua kutub, utara dan selatan, ujung dan pangkal, ya dan tidak, ada dan tak-ada. Sebentar dia bisa cemplungkan otaknya ke dalam ada, sebentar lagi ke dalam tak ada, dan pada tempat masing-masing memakai logika, tetapi pada pemandangan jauh mempunyai waktu lama, dia mesti pikirkan ada itu terletak di kutub tak-ada, tak boleh bercerai satu sama lainnya.

Si-ekonomis dan ahli politik, sebentar boleh memakai Logika, dalam menyelidiki beberapa perkara dalam golongan proletar atau kapitalis, tetapi dalam filsafat masyarakat sekarang, masyarakat kapitalisme, dia tidak boleh melupakan kedua kutub, kaum modal dikutub utara, kaum buruh di kutub selatan. Satu sama lain bertentangan, tak boleh dipadu. Disini dialektika yang merajalela.

Tetapi sebelum kita memilih cara berpikir mana yang terutama kita pakai, dialektika-kah atau logika-kah, maka haruslah lebih dahulu kita bertanya kepada diri sendiri, apakah persoalan itu berdasarkan matter, benda ataukah idea, bayangan pikiran semata-mata, roh semata-mata.

Kalau persoalan itu berdasar atas benda, barang yang nyata yang bisa diperiksa dengan panca indera anggota yang lima, boleh diperalamkan, diexperimentkan, barulah persoalan itu kita taruh di bawah pemeriksaan kita. Segala bukti yang nyata yang bisa diperalamkan itulah yang akan menjadi premisses, menjadi lantainya undang atau paham yang kita cari itu.

Sebab itulah kita namakan Madilog karena berdasarkan matter, benda. Dari penjuru matter inilah kita memandang. Inilah buat kita yang jadi lantai, yang menjadi tingkat pertama dalam sesuatu penyelidikan. Boleh jadi resultant atau hasil penyelidikan itu tiada mencukupi atau salah sama sekali. Tetapi hal ini tidak disebabkan salahnya cara berfikir. Boleh jadi kepala kita sedang pusing atau bukti belum semuanya terkumpul atau akhirnya kita salah memakai cara tadi.

Sudah lazim kita dengar dialektika-materialisme atau historisch-materialisme. Perkataan ini memang cukup tangkas dan selalu dipakai dalam kalangan Marxisten tetapi nama ini lahir di dunia barat di antara Marxisten di masa kebanyakan logika, buat menentang sikap yang terlampau banyak mengutamakan logika. Kita yang lahir di dunia mistika, mistika Hindu pula, mistika yang tak gampang dikikis, di cuci bersih, maka sebagai tongkat pertama dalam dunia berpikir, perlulah kita sekadarnya memajukan logika. Di antara ahli pikir borjuis barat ada yang menyanggah nama dialektika materialisme dan memajukan kritis-materialisme, ialah logisch-materialisme, tetapi nama ini sama sekali melenyapkan dialektika, jadi bertentangan dengan Madilog.

Walaupun dalam bagian badan kita, otak kita itu adalah barang yang perlu dan penting, hati, jantung, usus, dsb juga penting, tetapi kalau tak-bertulang belakang kita tak bisa berdiri. Klas tani itu penting, klas saudagar di dunia sekarang berguna, klas intelek berguna-penting, tetapi tak-ber-klas pekerja-mesin, Indonesia merdeka pasti tak akan bisa berdiri dan kalau berdiri tak akan bisa teguh dan lama.

Beginilah paham saya sebelum dibuang keluar Negara lebih dari 20 tahun yang lampau. Di bawah bendera Dai Nippon paham itu tak bertambah lemah, malah sebaliknya bertambah kuat. Perjuangan nasionalis setelah robohnya PKI (1927), yang dipimpin oleh kaum intelek sudah lebih dari pada cukup memberi bukti yang nyata, bahwa perjuangan yang tiada berdasarkan pekerja-murba tidak akan mendapat Indonesia Merdeka. Sikap keras terhadap para pemimpin prajurit pekerja, jauh lebih kejam dari pada sikap yang diambilnya terhadap para pemimpin nasionalis adalah sikap yang sangat jitu sekali menggambarkan taksirannya imperialisme Belanda terhadap berbagai golongan Masyarakat Indonesia yang mengancam dirinya itu.

Paham saya tentang segala golongan di Indonesia, sudah cukup saya terangkan dalam beberapa brosur, yang saya sebut diatas tadi. PARI, yang didirikan sesudah hancurnya PKI berdiri atas perhitungan kekuatan terbuka dan tersembunyi Rakyat Murba dan pekerja Indonesia.

Pentingnya, hidup matinya negara pada dunia kapitalisme dan imperialisme ini, bergantung pada bermacam-macam hal, persenjataan, perindustrian, terutama senjata, letak negara, persatuan serta banyak penduduknya, semangat rakyat, kecerdasan dsb.

Kalau semua hal yang lain bersamaan (letak negara, kecerdasan dan banyak penduduk dsb), maka dalam satu perjuangan keadaan perindustrianlah yang akan memberi putusan. Yang kuat perindustriannya, itulah pihak yang mesti menang. Perusahaan sekarang berdasar atas Ilmu-bukti (science) dan teknik, pesawat. Pesawat itu bendanya ialah besi baja dan kodrat atau rohaninya terutama minyak tanah. Kalau tak ada baja dan minyak, kapal terbang tak bisa naik, tank dan auto tak bisa lari dan kapal-selam tak bisa maju. Kalau besi dan baja itu tidak terdapat dalam negara, melainkan pada negara lain, maka buat menyampaikan maksud imperialismenya negara itu, dia mesti menguasai semua benda yang penting itu kalau satu negara penuh dengan benda tadi, tetapi lemah semangat rakyatnya, lemah intelek, tiada bersatu dan tiada pula merdeka, maka negara itulah yang akan menjadi umpan atau makanan negara yang gagah perkasa.

Di dunia ini tak ada letaknya negara yang lebih berbahagia dari letaknya Indonesia. Buat siasat perang tak ada tempat yang lebih teguh. Barang siapa yang mendudukinya, walaupun hal lain bersamaan, dia mesti menang perang. Siapa yang tiada mendapat kedudukan itu lambat laun akan kalah. Lihatlah saja peta bumi. Dulupun hal ini sudah saya majukan. Besi yang paling banyak dan paling baik sifatnya menurut laporan dalam Bataviasche Nieuwsblad tahun 1935 (?) – kalau saya tak lupa  – ialah di Indonesia Utara, Filipina. Tambang besi di Malaka dan Filipina memang sudah berjalan. Sulawesi dan Kalimantan banyak sekali tanah mengandung besi.

Minyak di Sumatra, Kalimantan, Irian sudah begitu kesohor di seluruh dunia, tak perlu dibicarakan lebih panjang lagi. Bauksite dan aluminium keduanya buat melebur baja yang kuat keras sudah dikerjakan di Riau dan akan dikerjakan di Asahan. Benda perang yang lain-lain, seperti: timah, getah dan kopra (buat bom TNT yang maha dahsyat itu minyak kelapalah yang dipakai) didapati di Indonesia lebih dari di seluruh bagian dunia lain digabung jadi satu.

Sudah pernah seorang pengarang buku di Amerika meramalkan, bahwa kalau satu negara seperti Amerika mau menguasai samudra dan dunia, dia mesti rebut Indonesia lebih dahulu buat sendi kekuasaan. Si Amerika tadi tiada meramalkan mungkin kelak rakyat Indonesia sendiri menguasai negaranya sendiri, tak mau menjadi umpan atau makanan negara lain, seperti lebih dari 300 tahun belakangan ini.

Saya sudah kenal sama tambang besi di Malaka dan Indonesia utara, Filipina. Baru ini saja saya kagumi tambang minyak yang besar di Pangkalan bradan, Pelaju dan sungai Gerang. Saya tahu adanya tambang minyak di Tarakan dan Balikpapan, batu arang di Malaka, Sawah Lunto, Bukit Assam dsb, tambang timah di Bangka dan Belitung. Saya tahu ratusan ribu pekerja yang terikat oleh kereta api, tram, mobil, kapal laut dan udara, pos, telepon, telegram dan radio. Ratusan ribu pekerja pada bengkel, pabrik besi, kimia, gula, teh, kain, sabun, dan lain-lain. Pada masa saya berangkat ketika lebih dari 20 tahun dahulu jumlah kaum pekerja itu sudah 2 atau 3 juta orang. Sekarang sudah tentu lebih dari itu. Banyaknya dan sifatnya perusahaan dalam 20 tahun belakangan ini memang sudah bertambah. Begitu juga banyaknya serta sifatnya prajurit pekerja.

Pekerja di dalam tambang minyak, besi, timah, bengkel dan pabrik dan pada pengangkutan inilah tulang belakangnya ekonomi Indonesia. Inilah kaum yang bisa dikerahkan buat menyokong berdirinya dan majunya Indonesia Merdeka yang sejati dan terus-menerus mempertahankan kemerdekaan itu. Dekatilah golongan pekerja ini! Masuklah klasnya! Dengan klas ini bersama dengan golongan lain, maka klas pekerja seolah-olah akan menjadi klas, sebagai “teras’’ yang dikelilingi kayu dan kulit, kalau ia terus maju ke muka buat mencapai kemerdekaan sejati dan mendirikan negara yang cocok dengan kemakmuran sama-rata dan persaudaraan.

Tetapi tuan mesti kupas masyarakat sekarang, dengan cara berpikir yang beralasan benda, bukan roh, yang bertentangan, bukan perdamaian, memakai undang berpikir yang bukan fantastis, bertahyul, sembarangan. Jelaskan pentingnya benda buat kesehatan kecerdasan, kebudayaan, kemerdekaan dan kesenangan. Kupaslah pertentangan upah dan untung, pertentangan proletar dan kapitalis. Pertentangan politik buruh dan politik majikan dan akhirnya pertentangan kebudayaan kaum pekerja dengan kebudayaan kaum hartawan yang menganggur itu. Jelaskanlah kedudukan proletar dalam dunia kapitalisme ini. Peringatkanlah, bahwa mereka pekerjalah, yang menduduki lantai ekonomi perekonomian Indonesia. Bangunkanlah semangat kritis – menentang – dalam masyarakat yang memang berdiri atas beberapa golongan yang bertentangan. Dengan begitu bangunkanlah semangat menyerang buat meruntuhkan yang lama – usang – dan mendirikan masyarakat yang baru – kokoh – kuat.

Janganlah dihampiri mereka, pekerja ini dengan “logika mistika’’. Atau kalau tuan begitu gemar akan logika mistika atau dialektika mistika tuan berlaku jujur. Jalankanlah akibatnya yang sebenarnaya dari logika atau dialektika mistika tadi. Bilanglah saja terus terang, bahwa benda itu tak berarti apa-apa, kalau dibanding akhirat. Propagandakanlah bahwa benda dan nikmat di akhirat lebih banyak, lebih lezat dan lebih kekal. Atau cocok dengan filsafatnya Gautama Budha, katakanlah bahwa benda itu adalah satu rantai, satu karma yang merantai hidup kita, hidup sengsara ini. Dengan demikian cocokilah dan ikutilah sikap dan tindakannya beberapa sekte atau mashap mistika, yang mencari cara yang baik buat membatalkan dunia ini, cara yang baik buat………mati, yang buat mereka berarti mati-hidup. Bilanglah terus-terang mati lebih baik dari pada hidup. Berlakulah begitu, supaya teori cocok dengan praktek, kata dengan laku. Dengan terus terang dan konsekwen bercakap begitu, kaum pekerja bisa memilih mana yang baik di antara Madilog atau Logika Mistika.

Leave a Reply