Sistem Pemerintahan (Adat) dalam Minangkabau: Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb.

Ditengah-tengah globalisasi dan tren-tren untuk mengadopsi sistem-sistem negara maju, ternyata masih banyak juga yang mencoba menelusuri sejarah-sejarah peradaban-peradaban Nasional atau yang saat ini dikenal(kan) dengan istilah kearifan lokal local wisdom. Dengan alasan itu pula Penulis yang menempatkan diri sebagai pembelajar mencoba berbagi wawasan tentang kearifan lokal, wa bil khusus tentang Minangkabau.

Selintas upaya ini terkesan sebagai sebuah eksklusifisme, akan tetapi bila Pembaca memiliki keinginan kuat untuk mencoba bersikap bijak dan menelusuri perlahan halaman demi halaman, sepatutnya pikiran seperti itu akan terkikis seiring dengan kebajikan yang coba diniatkan dalam tulisan ini.

Minangkabau dikenal sebagai salah satu suku bangsa, walaupun saya lebih suka menyebutkannya sebagai salah satu peradaban, yang tentu memiliki masa-masa variatif yang naik turun, stabil dan bergejolak, maupun larut dalam tidur lelapnya. Hal ini patutnya dipandang sebagai kewajaran, dimana peradaban berkembangan dengan segala dinamikanya seiring dengan dinamika manusia-manusia didalamnya.

Sistem Pemerintahan (Adat) dalam Peradaban Minangkabau ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar dalam kearifan penyusunan-penyusunan perangkat-perangkat yang mendukungnya. Yang pertama adalah, sistem desentralisasi kekuasaan, yang artinya demokrasi (sistem pemerintahan rakyat) memegang kendali vital dalam sistem pemerintahan ini, dimana musyawarah mufakat (dikenal dengan istilah, berunding, rapek adek, rapek balai, dsb) memegang kendali yang sangat-sangat signifikan dalam penentuan keputusan yang berurusan dengan kepentingan bersama, bahkan istilah voting tidak dikenal dalam mufakat seperti ini, dan untuk satu permasalahan bisa memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu bila memang dirasa perlu, akan tetapi peranan ninik mamak (orang-orang yang dituakan) dan penghulu adat sangat signifikan dalam menentukan opini dan wacana dalam musyawarah mufakat ini. Yang kedua adalah posisi kaum laki-laki dan perempuan, yang secara tegas di definisikan berbeda untuk menciptakan stabilitas dan keberlangsungan sistem pemerintahan, dimana garis pewarisan sako (gelar adat, suku) mengikut pada kaum perempuan, sedangkan pemegang kebijakan atau representatif kebijakan dipegang oleh kaum laki-laki, dan hal ini akan mempengaruhi tentang aset-aset pemerintahan adat (pusako), serta visi besar tentang eksistensi adat (suku).

Untuk lebih lengkapnya, Penulis akan mengupayakan untuk mencoba menuliskannya bab per-bab, dan Penulis sangat mengharapkan kontribusi dari Pembaca sekalian untuk memperkaya bahkan mengkoreksi hal-hal yang dipandang perlu untuk dikoreksi, mengingat keterbatasan Penulis sendiri sebagai Individu yang tak lepas dari segala kekurangan.

Akhir dari pengantar ini, Penulis berharap besar tulisan-tulisan ini dapat dirampungkan dan disuguhkan ke hadapan Pembaca sekalian.. Mohon maaf bila ada kekurangan, dan Penulis berharap besar pada interaksi dengan Pembaca untuk memperkaya wawasan dalam tulisan ini.

Tan Jabok
13 November 2008

Leave a Reply